Serial Kisah Aceh - Dua Pemuda yang Menggetarkan Musuh. |
Begitu
masyur ditelinga kita, betapa perjuangan bangsa Indonesia selalu
dihiasi dengan peluh dan darah. Peluh dan darah para pejuang negeri yang
gigih mempertahankan tanah airnya dari lumuran noda penindasan para
penjajah. Tidak terkecuali dengan sejarah Aceh. Perang
demi perang selalu mewarnai sejarah Tanah Rencong atau lebih dikenal
dengan nama Serambi Mekah dan Bumi Iskandar Muda. Dimasa kejayaannya,
beberapa daerah yang pernah dikuasia Portugis pernah dibebaskan oleh
Sultan Iskandar Muda, seperti Pahang, Aru, Johor (kini di wilayah
Malaysia) dan jauh sebelum itu, pejuang Aceh pernah mengusir armada
Majapahit dari pantai Tualang Cut (Manyak Payet) di pesisir timur Aceh.
Pertempuran itu sempat menewaskan Maha Patih Gajah Mada, dan terkubur di
perairan Selat Malaka, sekitar Pulau Kampai.
Penyerangan dan agresi perdana pasukan Belanda ke Aceh yang menyebabkan Belanda mengalami kerugian besar sudah sering kita baca, namun dua tokoh muda yang ada di dalamnya justru jarang terekspose oleh kita. Hal inilah sebenarnya substansi yang ingin saya angkat. Sebuah semangat dan keteguhan jiwa dalam perjuangan yang sangat inspiratif.
Kedatangan Belanda ke Aceh setelah menduduki wilayah nusantara lainnya sebenarnya adalah sebuah langkah yang cukup berani. Mengingat Aceh terletak di ujung pulau sumatera dan dari segi geografis jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia. Selain itu, wanti-wanti dari seorang Perwira Inggris yang cukup berpengalaman mengatakan "Jangan ganggu Aceh! karena Aceh adalah sarang tawong" saat itu tidak diindahkan oleh pejabat Belanda. Belanda pun lupa akan sejarah rekan satu rumpunnya Portugis yang beberapa Abad sebelumnya pernah mengalami kekalahan yang menyakitkan.
Berawal dari Maklumat London yang memproklamirkan perang terhadap Kerajaan Aceh, pada tanggal 5 April 1873, Belanda pun akhirnya tiba di perairan Aceh dan siap melakukan agresi. Mereka tiba dengan membawa pasukan yang siap tempur berkekuatan 6 kapal uap, 2 kapal angkatan perang laut, 5 kapal barkas, 8 kapal peronda, 6 kapal pengangkut, dan 5 kapal layar. Kedatangan Belanda ini membuat sultan Aceh mengadakan sidang darurat. Sementara pihak Belanda mengirimkan surat terakhir untuk berdiplomasi dan meminta sultan menyerah dan mengakui kedaulatan Belanda atau akan diserang.
Sidang itu dihadiri oleh seluruh pembesar istana dan sultan meminta pendapat mereka. Tidak ada pendapat berbeda yang dihasilkan dari sidang istimewa itu melainkan satu suara, yakni dengan tekat bulat akan melawan dan mengusir penjajah dari bumi Aceh. Bahkan, T.Nyak Raja Imum Lueng bata, berdiri dan mengeluarkan pendapatnya " Deelhat pho..Bek lhe pike ngon kaphe Belanda... meunyo panyang takoh lhee meunyoe paneuk ta koh dua" yang artinya "Tuanku.. janganlah terlalu lama berpikir terhadap kafir Belanda itu... kalau mereka panjang kita potong tiga, kalau pendek kita potong dua".
Saat itu, Sultan yang dilahirkan pada tahun 1855 tersebut masih berusia 17 tahun. Sebuah usia yang sangat muda dibalik begitu peliknya permasalahan yang dihadapi Kesultanan Aceh saat itu. Mulai dari kemelut dalam negeri akibat terpecahnya para pembesar-pembesar kerajaan, hingga ancaman penjajahan dari Belanda. Namun, akibat keteguhan dan kekuatan iman dan islam yang dimiliki akibat tempaan gurunya dan juga ulama Aceh Syech M. Abas Tgk. Di Kuta Karang, Beliau mampu mempersatukan kembali perpecahan di kalangan internal tersebut dan maju bersama menantang penjajahan Belanda.
Surat yang dikirimkan oleh perwira Belanda itu tidak direspon oleh sultan dan hal ini merupakan isyarat dari sebuah perlawanan. Hari itu, 6 April 1873 pasukan Belanda mencoba mendarat di Pantai Cermin (Pante Ceureumen) di kawasan Ulee Lheue Banda Aceh setelah sebelumnya membombardir pantai tersebut dengan kapal dan artileri berat yang mereka bawa. Di hari pertama, agresi Belanda ini disambut oleh para mujahidin Aceh dengan darah. Hingga gugurlah beberapa tokoh pejuang Aceh diantaranya Teuku Ramasetya yang menjabat Panglima barisan istana dan Teuku Imam Lam Krak.
Akibat mendapat perlawanan yang sengit, pendaratan hari pertama itu gagal. Namun dua hari setelahnya, tanggal 8 April 1873 Belanda kembali mencoba mendarat dengan kekuatan 3.198 prajurit bawahan dan 168 perwira. Dari awal, Belanda berkeyakinan bahwa tujuan mereka adalah istana sultan. Mereka berfikir bahwa Aceh seluruhnya akan jatuh pada Belanda ketika istana sultan dikuasai. Sebuah pemikiran yang naif. Meski hal ini nantinya berhasil pada agresi tahap ke dua, Belanda lupa bahwa semua daerah di Aceh adalah istana bagi sultan dan perlawanan tidak akan berhenti meskipun istana jatuh.
Dia adalah Mayor Jenderal JHR. Kohler. Seorang perwira tinggi yang memimpin langsung pertempuran pasukan Belanda melawan pejuang-pejuang Aceh. Perlawanan dari pejuang rakyat yang dibentuk semakin dahsyat. Kerugian di pihak Belanda pun tidak sedikit. Beberapa hari setelahnya, Belanda yang dilengkapi dengan artileri dan prajurit professional mampu maju dan mencoba merebut istana. Usaha Belanda ini belum berhasil dan mereka pun maju untuk mencoba merebut Masjid Raya Baiturrahman yang saat itu menjadi markas dan tempat pertemuan para mujahidin Aceh.
Sultan Mahmud yang berada dalam situasi berat itu tampak tegar dan tampil ke depan memimpin sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh bersama-sama dengan Panglima Polem Mahmud Cut Banta dan anaknya Ibrahim Muda Kuala, serta Teuku Nyak Raja Imum Lueng Bata, politikus dan ahli militer Aceh yang bertugas menyusun dan mengatur strategi.
Tanggal 10 April 1873, Belanda berhasil menguasai masjid dan mendesak mundur para pejuang Aceh. Namun, tanggal 14 April 1873 M atau empat hari setelah pendudukan Belanda tersebut, "pasukan ababil" Aceh berhasil merebut kembali masjid. Dalam penyerangan ini, seorang sniper Aceh berusia belia berhasil melihat gerak-gerik panglima tertinggi Belanda ini. Dengan segera ia pun mengarahkan moncong senjatanya ke arahnya dan dari jarak seratus meter berhasil melesatkan peluru hingga menembus jantung Mayor Jenderal J.H.R. Kohler.
Dalam
insiden itu, Kohler tewas ditempat. Para pengawal Kohler yang melihat
kejadian ini segera membalas dan memberondong ke arah sniper belia ini
hingga ia pun tewas. Dalam sumber lain disebutkan, sniper belia ini
tewas karena tembakan balasan dari sniper Belanda yang kala itu konon
merupakan perang sniper pertama di nusantara. Kejadian ini turut pula
memakan korban empat ratus tentara Belanda. Momen ini masih diabadikan
lewat prasasti yang dapat disaksikan di halaman Masjid Raya Baiturrahman
hingga kini.
Kontan
setelah kematian Mayjen Kohler ditambah lagi kerugian yang begitu besar
ini, pasukan Belanda mundur dan kembali ke Pantai Cermin. Setelah
mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda, pada 29 April 1873, armada
Belanda angkat jangkar dan meninggalkan perairan Aceh. Agresi pertama
ini pun gagal total. Hingga setelah itu, Belanda melancarkan agresi
kedua dengan kekuatan yang lebih besar yaitu terdiri atas 18 kapal
perang, 7 kapal uap angkatan laut, 12 barkas, 22 kapal pengangkut
lengkap dengan alat pendaratan; terdiri atas 6 barkas uap, 2 rakit besi,
2 rakit kayu, 80 sekoci, dan sejumlah tongkang pendarat. Tidak kurang
para pelacur turut serta dalam agresi ini.Begitulah
sekelumit kisah dua pemuda yang begitu gagah berani yang inspiratif.
Semoga sultan dan sniper belia tersebut mendapatkan tempat terbaik
disisi Allah.
Dirangkum dari berbagai sumber dan ditulis kembali oleh Rizal A
Penyerangan dan agresi perdana pasukan Belanda ke Aceh yang menyebabkan Belanda mengalami kerugian besar sudah sering kita baca, namun dua tokoh muda yang ada di dalamnya justru jarang terekspose oleh kita. Hal inilah sebenarnya substansi yang ingin saya angkat. Sebuah semangat dan keteguhan jiwa dalam perjuangan yang sangat inspiratif.
Kedatangan Belanda ke Aceh setelah menduduki wilayah nusantara lainnya sebenarnya adalah sebuah langkah yang cukup berani. Mengingat Aceh terletak di ujung pulau sumatera dan dari segi geografis jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia. Selain itu, wanti-wanti dari seorang Perwira Inggris yang cukup berpengalaman mengatakan "Jangan ganggu Aceh! karena Aceh adalah sarang tawong" saat itu tidak diindahkan oleh pejabat Belanda. Belanda pun lupa akan sejarah rekan satu rumpunnya Portugis yang beberapa Abad sebelumnya pernah mengalami kekalahan yang menyakitkan.
Berawal dari Maklumat London yang memproklamirkan perang terhadap Kerajaan Aceh, pada tanggal 5 April 1873, Belanda pun akhirnya tiba di perairan Aceh dan siap melakukan agresi. Mereka tiba dengan membawa pasukan yang siap tempur berkekuatan 6 kapal uap, 2 kapal angkatan perang laut, 5 kapal barkas, 8 kapal peronda, 6 kapal pengangkut, dan 5 kapal layar. Kedatangan Belanda ini membuat sultan Aceh mengadakan sidang darurat. Sementara pihak Belanda mengirimkan surat terakhir untuk berdiplomasi dan meminta sultan menyerah dan mengakui kedaulatan Belanda atau akan diserang.
Sidang itu dihadiri oleh seluruh pembesar istana dan sultan meminta pendapat mereka. Tidak ada pendapat berbeda yang dihasilkan dari sidang istimewa itu melainkan satu suara, yakni dengan tekat bulat akan melawan dan mengusir penjajah dari bumi Aceh. Bahkan, T.Nyak Raja Imum Lueng bata, berdiri dan mengeluarkan pendapatnya " Deelhat pho..Bek lhe pike ngon kaphe Belanda... meunyo panyang takoh lhee meunyoe paneuk ta koh dua" yang artinya "Tuanku.. janganlah terlalu lama berpikir terhadap kafir Belanda itu... kalau mereka panjang kita potong tiga, kalau pendek kita potong dua".
Saat itu, Sultan yang dilahirkan pada tahun 1855 tersebut masih berusia 17 tahun. Sebuah usia yang sangat muda dibalik begitu peliknya permasalahan yang dihadapi Kesultanan Aceh saat itu. Mulai dari kemelut dalam negeri akibat terpecahnya para pembesar-pembesar kerajaan, hingga ancaman penjajahan dari Belanda. Namun, akibat keteguhan dan kekuatan iman dan islam yang dimiliki akibat tempaan gurunya dan juga ulama Aceh Syech M. Abas Tgk. Di Kuta Karang, Beliau mampu mempersatukan kembali perpecahan di kalangan internal tersebut dan maju bersama menantang penjajahan Belanda.
Surat yang dikirimkan oleh perwira Belanda itu tidak direspon oleh sultan dan hal ini merupakan isyarat dari sebuah perlawanan. Hari itu, 6 April 1873 pasukan Belanda mencoba mendarat di Pantai Cermin (Pante Ceureumen) di kawasan Ulee Lheue Banda Aceh setelah sebelumnya membombardir pantai tersebut dengan kapal dan artileri berat yang mereka bawa. Di hari pertama, agresi Belanda ini disambut oleh para mujahidin Aceh dengan darah. Hingga gugurlah beberapa tokoh pejuang Aceh diantaranya Teuku Ramasetya yang menjabat Panglima barisan istana dan Teuku Imam Lam Krak.
Akibat mendapat perlawanan yang sengit, pendaratan hari pertama itu gagal. Namun dua hari setelahnya, tanggal 8 April 1873 Belanda kembali mencoba mendarat dengan kekuatan 3.198 prajurit bawahan dan 168 perwira. Dari awal, Belanda berkeyakinan bahwa tujuan mereka adalah istana sultan. Mereka berfikir bahwa Aceh seluruhnya akan jatuh pada Belanda ketika istana sultan dikuasai. Sebuah pemikiran yang naif. Meski hal ini nantinya berhasil pada agresi tahap ke dua, Belanda lupa bahwa semua daerah di Aceh adalah istana bagi sultan dan perlawanan tidak akan berhenti meskipun istana jatuh.
Dia adalah Mayor Jenderal JHR. Kohler. Seorang perwira tinggi yang memimpin langsung pertempuran pasukan Belanda melawan pejuang-pejuang Aceh. Perlawanan dari pejuang rakyat yang dibentuk semakin dahsyat. Kerugian di pihak Belanda pun tidak sedikit. Beberapa hari setelahnya, Belanda yang dilengkapi dengan artileri dan prajurit professional mampu maju dan mencoba merebut istana. Usaha Belanda ini belum berhasil dan mereka pun maju untuk mencoba merebut Masjid Raya Baiturrahman yang saat itu menjadi markas dan tempat pertemuan para mujahidin Aceh.
Sultan Mahmud yang berada dalam situasi berat itu tampak tegar dan tampil ke depan memimpin sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Aceh bersama-sama dengan Panglima Polem Mahmud Cut Banta dan anaknya Ibrahim Muda Kuala, serta Teuku Nyak Raja Imum Lueng Bata, politikus dan ahli militer Aceh yang bertugas menyusun dan mengatur strategi.
Tanggal 10 April 1873, Belanda berhasil menguasai masjid dan mendesak mundur para pejuang Aceh. Namun, tanggal 14 April 1873 M atau empat hari setelah pendudukan Belanda tersebut, "pasukan ababil" Aceh berhasil merebut kembali masjid. Dalam penyerangan ini, seorang sniper Aceh berusia belia berhasil melihat gerak-gerik panglima tertinggi Belanda ini. Dengan segera ia pun mengarahkan moncong senjatanya ke arahnya dan dari jarak seratus meter berhasil melesatkan peluru hingga menembus jantung Mayor Jenderal J.H.R. Kohler.

Dirangkum dari berbagai sumber dan ditulis kembali oleh Rizal A
0 komentar:
Posting Komentar